KERJASAMA ANTAR DAERAH
(Upaya Menjembatani Kesenjangan Logika Konseptual dan Logika Kontekstual)
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah telah memberikan kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan alternatif pemecahan-pemecahan inovatif dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapinya. Pemerintah Daerah dituntut untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan publik dasar serta bagaimana meningkatkan kemandirian daerah dalam melaksanakan pembangunan. Berangkat dari fakta sementara, saat ini konsep desentralisasi dan Otonomi Daerah diartikulasikan oleh daerah hanya terfokus pada usaha menata dan mempercepat pembangunan di wilayahnya masing-masing. Penerjemahan seperti ini ternyata belum cukup efisien dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, karena tidak dapat dipungkiri bahwa maju mundurnya satu daerah juga bergantung pada daerah-daerah lain, khususnya daerah yang berdekatan.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah lebih tegas memberikan legalitas yang besar untuk dilaksanakannya kerjasama pembangunan, baik dengan pihak ketiga (publik atau swasta) maupun kerjasama antar daerah yang bertetangga. Dalam pasal 195 (1) dinyatakan bahwa “Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.” Bahkan pasal 196 (2) lebih tegas lagi berisi “perintah” untuk membuat kerjasama antar daerah, dengan menyatakan: “Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat.”
Kenyataan menunjukan bahwa setelah otonomi daerah ternyata telah dipersepsikan dan disikapi secara variatif oleh beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia. Misalnya mereka mempersepsikan otonomi sebagai momentum untuk memenuhi keinginan-keinginan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang lebih luas yaitu kepentingan negara secara keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang berdekatan. Akibatnya, muncul beberapa gejala negatif yang meresahkan antara lain berkembangnya sentimen primordial, konflik antar daerah, berkembangnya proses KKN, konflik antar penduduk, eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan munculnya sikap “ego daerah” yang berlebihan. Kabupaten atau kota cenderung memproteksi seluruh potensinya secara ketat demi kepentingannya sendiri, dan mengisolasikan dirinya terhadap kabupaten atau kota lain. Dampak negatif kegiatan ekonomi di suatu daerah pada daerah lain, seperti externalities, juga tidak dihiraukan lagi. Bahkan sentimen daerah mulai timbul dengan adanya kecenderungan umum mengangkat “putera daerah” menjadi pegawai negeri sipil daerah.
Kondisi diatas mengilustrasikan dengan cukup jelas bahwa kebijakan otonomi daerah
sesungguhnya memberikan tanggungjawab dan beban kerja yang jauh lebih berat kepada daerah, dibanding pada masa-masa sebelumnya. Sementara disisi lain, pemerintah daerah
masih dihadapkan pada berbagai permasalahan klasik berupa keterbatasan kualitas dan
kuantitas sumber daya, baik anggaran, SDM maupun sarana dan prasarana. Hal ini
mengharuskan jajaran aparat daerah untuk berpikir secara kreatif dan inovatif untuk
membangun sistem manajemen pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Di lain pihak, keterbatasan anggaram masing – masing daerah menyebabkan sempitnya ruang gerak daerah dalam melaksanakan kegiatan – kegiatan pembangunan yang memberikan manfaat signifikan dan dirasakan langsung oleh masyarakat di daerah masing – masing. Keterpurukan ekonomi dan ketertinggalan informasi merupakan situasi urgen yang mendesak untuk segera melakukan kerja sama antar daerah yang mendatangkan keutnutngan antar kedua belah pihak. Dengan berpegang pada prinsip saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain maka kedua daerah yang menjalin kerja sama tersebut niscaya akan mampu menemukan solusi agar keluar dari krisis yang melilit.
Dengan pembahasan tentang Kerjasama Antar Daerah yang telah diurai pada latar belakang maka tulisan ini difokuskan pada potret kerjasama antar daerah, problematika dan solusi ideal yang ditawarkan untuk menjembatani logika konseptual dan logika kontekstual.
III. KERANGKA KONSEPTUAL
2.1. Kerangka Regulasi: PP. No.50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah
Setelah berkembangnya berbagai bentuk kerjasama antar daerah(KAD) di Indonesia, disahkannya PP mengenai tatacara pelaksanaan kerjasama ini memang sangat dinantikan oleh daerah. Dalam PP ini; yang dimaksudkan dengan kerjasama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati / walikota dengan bupati/walikota yang lain, dan atau gubernur, bupati/walikota dengan pihak ketiga yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Adapun obyek kerjasama daerah adalah seluruh urusan pemerintah yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan public. Penyelenggaraan kerjasama antar daerah (KAD) ini hendaknya dilaksanankan dengan memperhatikan prinsip-prinsip berikut: a) efisiensi; b) efektifitas; c) sinergi; d) saling menguntungkan; e) kesepakatan bersama; f) itikad baik; g) mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah NKRI; h) persamaan kedudukan; i) transparansi; j) keadilan; dan k) kepastian hukum.
Untuk tata caranya kerjasama daerah diantaranya diatur hal-hal sebagai berikut:
Dalam hubungannya dengan DPRD, rencana kerjasama daerah yang membebani daerah dan masyarakat harus mendapatkan persetujuan dari DPRD dengan ketentuan apabila biaya kerjasama belum teranggarkan dalam APBD tahun anggaran berjalan dan atau menggunakan dan atau memanfaatkan asset daerah. Akan tetapi kerjasama daerah yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah dan biaya sudah teranggarkan dalam APBD tahun anggaran berjalan tidak perlu mendapatkan persetujuan dari DPRD.
Untuk penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan kerjasama, diharapkan dapat diselesaikan dengan musyawarah. Akan tetapi, apabila kata mufakat tidak dapat dicapai, maka untuk kerjasama antar daerah yang terdapa dalam satu provinsi, penyelesaian perselisihan dapat dilakukan dengan keputusan gubernur tersebut. Sementara untuk kerjasama antar provinsi, dapat dilakukan dengan keputusan Menteri (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri ).
Dalam PP No.50 tahun 2007 ini juga diatur mengenai pembentukan badan kerjasama. Badan kerjasama ini dapat dibentuk untuk kerjasama antar daerah(KAD) yang dilakukan secara terus menerus atau berlangsung dalam waktu minimal 5 tahun. Badan kerjasama ini bukan bagian dari perangkat daerah dan dibentuk dengan keputusan bersama kepala daerah. Tugas badan kerjasama ini termasuk pengelolaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama antar daerah(KAD). Selain itu, Badan Kerjasama juga dapat memberikan masukan atau saran mengenai langkah-langkah yang diperlukan apabila ada permasalahan dalam pelaksanaan kerjasama. Adapun untuk biaya penyelenggaraan badan Kerjasama ini menjadi tanggungjawab bersama kepala daerah-daerah yang terkait dengan kerjasama.
2.2. Pentingnya Kerjasama Antar Daerah (KAD)
Dalam sebuah kerjasama terdapat tiga unsure pokok yaitu adanya dua pihak atau lebih yang membangun kerjasama, adanya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama dan tujuan bersama. Ketiga unsure tersebut harus ada dalam sebuah kerjasama. Adanya dua pihak atau lebih menggambarkan suatu himpunan kepentingan yang saling mempengaruhi satu sama lain sehingga terjadi interaksi untuk mewujudkan suatu tujuan bersama. Interaksi yang tidak bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan bersama bukanlah cirri khas dari suatu kerjasama. Dengan demikian interaksi dari beberapa pihak yang dilakukan harus memungkinkan terciptanya keseimbangan, artinya interaksi yang hanya menguntungkan sebelah pihak maka tidak termasuk criteria kerjasama. Kerjasama menempatkan pihak-pihak yang berinteraksi pada posisi seimbang, serasi dan selaras karena interaksi bertujuan demi pemenuhan kepentingan bersama tanpa ada yang dirugikan (Bdk. Pamudji,1983:12).
Untuk mengoptimalkan potensi daerah kerjasama antar daerah dapat menjadi salah satu alternatif inovasi atau konsep yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas, sinergis dan saling menguntungkan terutama dalam bidang-bidang yang menyangkut kepentingan lintas wilayah. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui berbagai payung regulasi (peraturan pemerintah) mendorong kerjasama antar daerah. Kerjasama diharapkan menjadi satu jembatan yang dapat mengubah potensi konflik kepentingan antardaerah menjadi sebuah potensi pembangunan yang saling menguntungkan.
Kerjasama antar daerah hanya dapat terbentuk dan berjalan apabila didasarkan pada adanya kesadaran bahwa daerah-daerah tersebut saling membutuhkan untuk mencapai satu tujuan. Oleh karena itu, inisiasi kerjasama antar daerah baru dapat berjalan dengan efektif apabila telah ditemukan kesamaan isu, kesamaan kebutuhan atau kesamaan permasalahan. Kesamaan inilah yang dijadikan dasar dalam mempertemukan daerah-daerah yang akan dijadikan mitra.
Selain itu, yang juga perlu dipikrkan adalah masalah feasibilitas kerjasama, baik secara ekonmi maupun politis. Secara politis karena walau bagaimanapun, keputusan akhir mengenai komitmen untuk bekerjasama adalah sebuah keputusan politis yang harus diambil pada level pimpinan, sehingga diperlukan argumentasi-argumentasi untuk bekerjasama yang cukup menarik secara politis bagi level pimpinan itu. Tentu saja, karena secara politis kerjasama ini harus menarik bagi semua daerah yang terlibat, maka juga harus menguntungkan bagi semua daerah. Prinsip “saling menguntungkan” inilah yang menjadi salah satu filosofi dasar kerjasama.
Dalam pembahasan tentang kerjasama antar daerah(KAD) maka tidak terlepas dari beberapa isu strategis dan menarik yang berkaitan dengan urgensi kerjasama antar pemerintah daerah selama ini, yakni:
1.Peningkatan Pelayanan Publik
Kerjasama antar daerah diharapkan menjadi salah satu metode inovatif dalam meningkatkan kuyalitas dan cakupan pelayanan public. Efektivitas dan efisiensi dalam penyediaan sarana dan prasarana pelayanan public seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sebagainya juga menjadi isu yang penting, terutama untuk daerah-daerah tertinggal. Peningkatan pelayanan public ini juga termasuk pembangunan infrastruktur. Infrastruktur ini bisa mencakup jaringan jalan, pembangkit listrik dan sebagainya.
Kerjasama dalam hal keamanan di kawasan perbatasan juga menjadi salah satu isu strategis, selain dalam hal keamanan, kerjasama di kawasan-kawasan perbatsan juga difokuskan pada pengembangan wilayah karena daerah-daerah di kawasan perbatsan ini sebagian besar adalah daerah tertinggal.
Keterkaitan tata ruang antar daerah diperlukan dalam hal-hal yang dapat mempengaruhi lebih dari satu daerah seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan lingkungan dan sebagainya.
Usaha mitigasi bencana dan tindakan pasca bencana, apabila bercermin dari pengalaman di NAD, Alor, dan Nabire, serta daerah lainnya, ternyata keadaan ini membutuhkan koordinasi dan kerjasama yang baik antar daerah-daerah yang berdekatan.
Keterbatasan kemampuan, kapasitas dan sumberdaya yang berbeda-beda antar daerah menimbulkan adanya disparitas wilayah dan kemiskinan (kesenjangan social). Melalui kerjasama antar daerah, diharapkan terjadi peningkatan kapasitas daerah dalam penggunaan sumberdaya secara lebih optimal dan pengembangan ekonomi local, dalam rangka menekan angka kemiskinan dan mengurangi disparitas wilayah.
Kerjasama Antar Daerah (KAD) dapat menjadi salah satu alternative lain untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pelayanan public selain kebijakan pemekaran daerah. Hak ini meningkat kebijakan pemekaran lebih banyak memerlukan sumberdaya dibandingkan dengan kerjasama antar daerah, dan perkembangan daerah otonom baru, tidak selalu memberikan hasil yang diinginkan.
Selain itu dengan kerjasama maka ada banyak manfaat juga yang diperoleh:
Kerjasama antar daerah dapat menjadi forum interaksi dan dialog antar actor utama daerah. Dengan adanya forum seperti ini maka dapat memberikan pemahaman terhadap permasalahan dan meningkatkan toleransi antar daerah sehingga konflik antar daerah dapat diantisipasi.
Kerjasama antar daerah dapat dimanfaatkan daerah-daerah untuk membangun aksi bersama. Dalam konteks pelayanan public, kerjasama antar daerah sangat mendukung daerah dalam menerapkan efisiensi dan standarisasi pelayanan antar daerah. Hal ini tentu mendukung pelayanan public yang optimal di daerah.
Kerjasama antar daerah akan mendorong terjadinya pengembangan ekonomi di suatu wilayah. Hal ini disebabkan karena logika pengembangan ekonomi tidak selalu sama dengan logika penguasaan wilayah administrasi. Seringkali terjadi pengembangan ekonomi suatu wilayah tidak bisa maksimal karena wilayah yang mencakupi beberapa teritori daerah.Apabila tidak ada kerjasama antar daerah, maka perkembangan wilayah tidak maksimal. Dengan demikian kerjasama antar daerah juga dapat mendorong terjadinya pengembangan ekonomi daerah.
Kerjasama antar daerah mendorong pengelolaan lingkungan yang menjadi masalah bersama. Sama seperti poin sebelumnya wilayah pelestarian juga tidak selamanya dengan teritori administrasi. Tanpa kerjasama antar daerah, penanganan lingkungan tidak akan berjalan sinergis sehingga sangat berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan, tidak saja bagi daerah tersebut tetapi juga bagi daerah tetangga lainnya, seperti: kebakaran hutan, banjir dan tanah longsor.(Pratikno et.all. 2004:134-135)
Selain itu kerjasama antar daerah juga sangat bermanfaat bagi daerah karena adanya:
Kesadaran akan pentingnya kerjasama antar daerah seperti yang disebutkan di atas sudah menjadi kesadaran bersama semua pihak di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dijaminnya kerjasama antar daerah dalam UU No. 32 tahun 2004, Bab IX tentang kerjasama dan penyisihan dalam pasal 195 dan pasal 196.
2.3. Model Kerjasama Antar Daerah
Ada banyak model-model Kerjasama antar Daerh(KAD) yang dapat disarikan dari berbagai sumber literature akan tetapi, yang perlu untuk dicermati adalah prinsip-prinsip dasar yang diperlukan dari sebuah kerjasama. Model –model yang disajikan dalam tulisan ini adalah sekedar contoh. Bentuk –bentuk itu dapat divariasikan atau bahakan digabungkan, tergantung pada karakteristik daerah yang bersangkutan, karakteristik bidang yang dikerjasamakan, serta negosiasi antar pemerintahan daerah. Prinsipnya, dalam penerapan bentuk-bentuk ini, yang perlu dijaga pada daerah –daerah bersangkutan adalah:
Selain itu secara lebih kuhsus, ada beberapa prakondisi dalam hal keuangan/pendaanaan yang perlu diperhatikan, yaitu:
Format kerjasama, terutama dalam hal pendanaan dan anggaran, memang perlu dibahas secara khusus oleh daerah-daerah yang bersangkutan.pasalnya, tidak jarang faktor pendanaan dan anggaran ini menjadi faktor yang paling sensitive dalam menjaga keberlangsungan kerjasama.
Sebagai contoh, berikut ini akan disajikan beberapa model bentuk kerjasama antar Daerah(KAD). Bentuk –bentuk kerjasama antar pemerintahan daerah dalam pelayanan public dapat beragam, yaitu diantarnya:
Sesuatu yang menjadi catatan penting dalam alternative kerangka hukum kerjasama antara daerah adalah bahwa pengaturan legal-formal bagi kerjasama antar daerah bisa jadi sangat counterproduktif dengan semangat network yang dibangun dalam forum atau lembaga kerjasama antar daerah. Seperti sudah diuraikan di muka, karakter network sangat berbeda dengan karakter relasi yang dikelolah secara legal-formal, yang biasanya bersifat lebih kaku dan sangat ketat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin formal pengaturan kerjasama antar daerah tersebut maka derajat networknya menjadi makin lemah.Tidak mengherankan jika kemudian yang akan terjadi adalah dominasi paradigm berorganisasi lama dalam mengelola lembaga atau forum kerjasama antar daerah.
III. POTRERT KERJASAMA ANTAR DAERAH
Secara genial kerjassama antar daerah telah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia baik level antar propinsi maupun kabupaten/kota. Ada beberapa forum kerjasama level provinsi seperti: Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) JABODETABEJUR yang telah dirintis sejak tahun 1975, atau forum kerjasama Mitra Praja Utama (MPU) di wilayah DKI, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengan, DIY, Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT. Sedangkan pada level kabupaten/kota misalnya: Secretariat bersama KARTAMANTUL yang merupakan kerjasama Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, di daerah Solo Raya dikenal Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) SUBOSUKA WONOSERATEN yakni badan kerjasama yang terdiri dari Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukolarjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen dan Kabupaten Klaten, sedangkan di wilayah NTT barusan beberapa waktu yang lalu Kabupaten Lembata melegalisasikan rencana kerjasamanya dengan Kabupaten Wakatobi yang berada di lingkup Provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah lain yang merupakan kerjasama level kabupaten/kota lintas provinsi antara lain: BKAD PAWONSARI yakni badan kerjasama yang terdiri dari Kabupaten Pacitan (Jatim), Kabupaten Wonogiri (Jateng), Kabupaten Wonosari (DIY), Kabupaten Gunung Kidul (DIY). Selain itu JAVA PROMO adalah sebuah klerjasama antar daerah di sector pariwisata yang melibatkan 13 kabupaten/kota yang berasala dari provinsi DIY dan Jawa Tengah. Dalam skala yang lebih besar di mana melibatkan seluruh kabupaten/kota se Indonesia adalah APKASI yakni Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia yang sekarang telah berubah menjadi Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI), dan masih banyak lagi kerjasama antar daerah yang sedang diinisiasi dan yang sduah dilakukan namun tidak melaporkan forumnya ke pemerintah pusat atau departemen terkait (Warsono, dalam Pramusinto.et.al.2009:109).
Dengan melihat bentuk kerjasama yang sedang dilakukan, masyarakat menjadi optimis terhadap langkah-langkah pemerintah daerah di dalam meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat maupun pola pengelolaan kepemerintahan untuk menjadi lebih efisien dan efektif. Namun efektifitas implementasi kerjasama, kontribusi kerjasama bagi peningkatan taraf hidup masyarakat menjadi sebuah tanda Tanya besar dalam era desentralisasi ini. Berbagai hambatan baik dari aspek regulasi maupun dari kapasitas para pengambil kebijakan menyebabkan kerjasama menjadi potret buram di republic ini.
Namun demikian potret buram tersebut perlahan-lahan akan hilang jika dihadapkan pada sebuah kajian terhadap realitas kerjasama antar daerah. Dalam sebuah kajian dampak kerjasama antar daerah terkini yang dilakukan oleh Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kerjasama antar daerah(LEKAD) yang bekerjasama dengan GTZ GLG ( Good Local Governance) , di beberapa institusi kerjasama antar daerah di wilayah jawa tengah pada tahun 2008, didapatkan kesimpulan hasil analisis sebagai berikut:
Selain itu kerjasama antar daerah yang dibangun member dampak yang signifikan pada sector ekonomi atau pihak swasta. Dampak-dampak tersebut antara lain:
Di wilayah lain seperti DIY yang juga memiliki kerjasama antar daerah kabupaten/kota (KARTAMANTUL) juga memberikan dampak positif. Pengelolaan air limbah di wilayah Sewon Bantul berdampak berkurangnya pencemaran air yang dikarenakan limbah, beigtu juga jembatan Blambangan yang dibangun antara Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta sebagai akses transportasi yang berdampak pada penghematan biaya social dan ekonomi.
Dari beberapa potret kerjasama antar daerah yanbg dilakukan serta dampak yang ditimbulkannya, sebenarnya peluang terhadap percepatan pembanguna kualitas masyarakat di daerah bisa dipercepat tetapi kondisi tersebut tidak serta merta dapat terwujud karena beberapa kendala yang juga kerap ditemukan di lapangan ketika berupaya membangun kerjasama antar daerah.
Pasca orde baru banyak harapan tertumpuh pada otonomi daerah dengan seperangkat regulasinya yang diyakini sebagai aufklerung bagi masyarakat Indonesia. Kreatif dan inisiatif daerah semakin berkembang, kesejahteraan masyarakat juga diharapkan juga semakin meningkat dengan makin dimengertinya kemauan masyarakat oleh penyelenggara layanan public dan sederet harapan lainnya yang tertumpuh pada penguatan otonomi daerah.
Dalam pelaksanaan desentralisasi, penguatan otonomi daerah memiliki sisi negative antara lain, sinergi pembangunan regional yang dikhawatirkan semakin menjauh akibat lemahnya koordinasi di antara mereka. Kabupaten kota bukannya menjalin kerjasama untuk berbagi peran dalam menyelesaikan masalah bersama, atau meningkatkan daya saing dengan bersinergi tetapi membiarkan kondisi tanpa komunikasi, tanpa koordinasi bahkan tanpa kerjasama di tingkat regional. Semua masalah diupayakan penanganannya sendiri-sendiri (Warsono, dalam Pramusinto.et.al.2009:107).
Kondisi yang demikian dapat dianalisis dengan menggunakan aspek meaningatau prinsip saling menguntungkan dalam membangun kerjasama antar daerah dan beserta regulasinya dalam PP No.50 tahun 2007 yang berisikan pedoman dalam membangun kerjasama antar daerah. Prinsip saling menguntungkan dalam membangun kerjasama antar daerah secara signifikan memberikan pemahaman akan pentingnya melakukan kerjasama antar daerah yang dapat membawa keuntungan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut. Kekuatan pemahaman akan pentingnya membangun forum kerjasama antara para pengambil kebijakan akan memberikan dorongan yang kuat dalam upaya meretas keterbatasan daya dalam upaya peningkatan layanan public dan penyelesaian masalah bersama.
Proses inisiasi kerjasama antar daerah yang mengalami stagnasi di beberapa daerah yang tidak membangun forum kerjasama bukan satu-satunya disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan pemahaman akan prinsip saling menguntungkan dalam kerjasama antar daerah tetapi juga disebabkan oleh perangkat regulasi atau payung hukum yang tidak menjamin secara spesifik tentang kerjasama antar daerah. PP No.50 tahun 2007 tentang pedoman dalam membangun kerjasama antar daerah belum secara spesifik mengatur inisiasi kerjasama tersebut. Hal ini terlihat dengan tidak adanya regulasi yang jelas dan pasti tentang sumber anggaran yang dibutuhkan dalam membangun relasi kerjasama antar daerah. Hal ini memberi dampak pada keragu-raguan pemerintah daerah dalam menginisiasi kerjasama antar daerah karena berbenturan dengan ketakutan terjebak dalam penyalahgunaan pengelolaan anggaran daerah.
Di lain pihak, kerjasama antar daerah merupakan aksi bersama yang melibatkan seluruh stakeholders dalam tahap perencanaan, pengambilan keputusan, pengawasan dan bahkan evaluasi kegiatan. Dalam konteks otonomi daerah yang dimengerti sebagai wadah partisipatif bagi masyarakat local, hal seperti ini jarang ditemukan dalam realitas. Bahkan fungsi control dan pengawasan yang diembani oleh pemerintah provinsi terhadap inisiasi kerjasama antar daerah sangat sulit untuk ditemukan dalam praktek. Hal seperti ini secara implicit memberikan keleluasaan kepada pengambil kebijakan kerjasama untuk sendiri merencanakan dan mengimplementasikan kebijakannya tanpa intervensi dari semua stakeholders dan masyarakat pada umumnya, sehingga memunculkan peluang masuk jebakan birokratisme dalam kerjasama antar daerah. Dengan demikian kecurigaan terhadap kebijakan kerjasama antar daerah sebagai peluang bisnis bagi para elit semakin terbuka lebar dan layanan public dan pembangunan ekonomi masyarakat serta kemajuan daerah sebagai sasaran dan tujuan utama kerjasama antardaerah menjadi cita-cita utopis dan slogan tak bermakna.
Kesenjangan antara logika konseptual dan logika kontekstual seperti yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan beberapa penyebab atau masalah yang melatarbelakangi kebuntuan dalam perwujudan logika konseptual ke dalam logika kontekstual. Problematika tersebut antara lain:
Hal ini berkaitan dengan tidak adanya regulasi pengelolaan keuangan daerah yang mengatur secara spesifik kerjasama antar daerah. Hal ini menyebabkan kekhawatiran dari pemerintah daerah terjebaka dalam pelaporan keuangan ketika terjadi pemeriksaan oleh badan pemeriksa yang berwewenang. Sejauh ini daerah-daerah yang melakukan kerjasama antar daerah menggunakan anggaran dengan mensiasati melalui pos-pos di SKPD yang bersangkutan dalam sebuah kerjasama atau pos hibah.
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahuiu adanya kesenjangan antara teori dan praktek dalam mewujudkan kerjasama antar daerah sebagai basis kekuatan dalam menciptakan keuntungan bersama. Dari permasalahan yang ditemukan dapat ditawarkan beberapa solusi alternative yang mungkin dapat mendamaikan inkonsistensi antara logika konseptual dan logika kontekstual.
Hal ini menjadi lebih efektif jika kedua kepala daerah menyadari akan menjadikan potensi konflik sebagai strategi untuk membangun kerjasama yang baik. Oleh karena itu pemerintah daerah harus mampu untuk meningkatkan pendidikan rakyat bagi daerah-daerah konflik, sehingga rasa persaudaraan terbina dengan tulus dengan dasar pancasila menjadi anutan bersama (Bdk. A.Simanjuntak, 2011:220).
Koordinasi antar pemerintah terkait kerjasama antardaerah, mulai dari tingkat pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang selama ini dipandang lemah menjadi tantangan bagi semua pihak. Upaya-upaya koordinasi yang intensif untuk menyamakan persepsi, sinkronisasi program dan kegiatan merupakan hal yang mutlak diperlukan.
Pemerintah khususnya provinsi dan kabupaten kota perlu melakukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas aparatur penyelenggara kerjasama, karena hal itu ikut menentukan tingkat keberhasilan kerjasama. Khusus untuk peningkatan kualitas pemahaman, pemerintah daerah secara intens perlu melakukan pembekalan, pelatihan, workshop atau kegiatan semacamnya.
Pengalaman kerjasama antar daerah ternyata sangat menarik jika ditelisik lebih mendalam karena memberikan kontribusi dan asas manfaat terhadap pembangunan dan peningkatan ekonmi masyarakat. Akan tetapi kesadaran dan pemahaman tentang kerjasama antar daerah bagi public belum maksimal sehingga menyebabkan kesulitan dalam menginisiasi kerjasama antar daerah dalam lingkup daerah. Dalam konteks otonomi daerah kerjasama justru menjadi instrument vital dalam memajukan daerah dan upaya menyelesikan permasalahan secara bersama. Dengan kerjasama meluasnya konflik kedaerahan dan konflik ekstensial lainnya perlahan-lahan akan diubah menjadi potensi afirmatif bagi pihak-pihak yang bekerjasama.
Dengan demikian upaya mewujudkan kerjasama antar daerah merupakan aksi vital dan urgens untuk segera di praktekan dalam otonomi daerah. Pelaksanaan atas nama suci kerjasama antar daerah niscaya akan membawa dampak yang sangat positif bagi kemajuan daerah jika dimbangi dengan niat baik para inisiator dan para implementator dan jauh dari kepentingan politik walaupun pada dasarnya pengambilan kebijakan kerjasama antar daerah adalah kebijakan politis.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Pramusinto dan Erwan Agus Purwanto, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia,Yogyakarta: Gava Media. 2009.
Antonius Simanjuntak, Otonomi Daerah,Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia. Berapa Persen lagi tanah dan Air Nusantara Milik Rakyat?,Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011.
Syaukani, Afan Gavar dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Pamudji, S, Kerjasama antar Daerah dalam rangka Pembangunan Wilayah, Jakarta: Bina Aksara, 1983.
Pratikno, Mengelolah Dinamika Politik dan Sumberdaya Daerah,Yogyakarta: PLOD-Departemen Dalam Negeri. 2004.
Pratikno dan Parwoto, Desentralisasi dan Otonomi Daerah:Modul Kuliah Desentralisasi dan otonomi Daerah, Program Pascasarjana(S-2) Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.